“Astagfirrulloh
Hal’adzim” setengah melompat, Fatih kaget terbangun dari tidurnya. Sambil terus
beristigfar, ia mengusap mukanya dengan kedua buah tangannya. Beranjak
pelan-pelan ia bangun menuju ke kamar mandi mengambil air wudhu. Kemudian
kembali ke kamar, diliriknya jam beker digital di samping tempat tidurnya,
03:17. Lalu ia alihkan pandangannya ke wajah istrinya yang terlihat lelap
sekali tidurnya. Hatinya bergumam “Ya Allah Robbul’alamin, kenapa aku
memimpikan dia? Sepintaspun aku sudah tidak mengingatnya. Ataukah ini pekerjaan
setan yang masuk ke alam tidurku? Hamba berlindung kepadaMu dari perbuatan
jahat setan Ya Allah”
Dipegang pipi kanan
istrinya dengan tangannya yang masih agak dingin oleh air wudhu. “hun, come on
wake up, let’s do qiyamul lail”. Perlahan Tuba membuka kedua matanya sambil
tersenyum “thanks love, give me a second to take wudhu”. “Go ahead dear, I’ll
prepare the praying mat”. Tuba Yilmas adalah istri yang dinikahi Fatih 2 tahun
yang lalu, anak dari imam masjid Ar-Rahman West Palm Beach Florida kota tempat
dia mengajar sekarang.
Selesei bertahajud
berdua sambil menunggu adzan subuh, Tuba mengambil Al-Qur’an, membacanya sambil
duduk dikursi didekat lampu kamar mereka. Sedang Fatih sendiri terus berdzikir.
Namun pikirannya menerawang, kembali teringat mimpinya. Ya Allah, semoga dia
dalam keadaan baik, sehat dalam lindunganMu. Sudah 6 tahun berlalu, aku ikhlas
Engkau tahu. Sudah Kau karuniakan aku istri yang cantik nan sholehah penyejuk
mataku, penerang rumah tanggaku, aku sangat bahagia dan sangat bersyukur atas
karunia dan amanahMu ini.
Aku sudah lupa tentang Fatima, namun mengapa aku
mimpi dia Ya Allah. Dia berdiri dihadapanku, menggandeng kedua tanganku,
menatapku lekat-lekat, bertanya apakah aku bahagia, seolah dia ingin memastikan
bahwa aku bahagia. Melihat wajahnya dengan jelas saja, aku baru 2x, saat tidak
sengaja bertegur sapa dengan kakaknya yang saat itu berjalan dengan dia, dan
saat aku mencoba melamarnya. Dan aku ikhlas Fatima mendampingi Isa, sahabat karibku yang Engkau tahu dia aku anggap
layaknya saudara sendiri. Wahai Allah Maha penggenggam hati, jagalah hati ini
dari syaitan yang mencoba mengusik ketenangan rumah tanggaku dengan Tuba. Yang
Engkapun sudah mengkarunikan kami seorang putri yang lucu. Bertambah lagi
amanah dariMu, kuatkan diriku Ya Robbi, Aamiin”.
Selesai berjamaah
sholat shubuh yang dilanjutkan dzikir pagi, Tuba bangkit, duduk menghadap
Fatih, meminta salaman sambil mencium tangan Fatih. Kemudian Fatih membalas
mengecup kening istrinya, “Sungguh, apalagi yang kuminta selain istri yang
cantik, sholehah dan patuh”, bisik hati Fatih.
Tuba pamit ke dapur untuk menyiapkan
sarapan.
“Love, what would you like to have for your breakfast? Some coffee and
scramble with no salt or orange juice and 2 toasts, one with peanut butter and
one with pineapple jam?”
Sambil tersenyum lembut Fatih menjawab “cup of coffee
and 2 toasts one with honey and the other one with peanut butter, please!.
Thanks a lot dear”
“no problemo, will do, and I won’t make them like a
sandwich, I’ll remember this time” sahut Tuba sambil tersenyum sedikit malu.
Karena sebelumnya Tuba tidak faham dengan permintaan Fatih yang lebih suka
rotinya terpisah, Fatih tidak suka rotinya ditumpuk, lebih suka makan satu
persatu, menikmati perbedaan rasa roti yang pakai selei kacang, dan kemudian
berganti rasa dengan yang pakai madu. Atau biasanya ia suka pakai selei nanas.
“Thanks
again dear, I’ll be in the living room, I wanna log in to skype, see if my
buddy Isa is online right now”.
“OK love” respon Tuba.
Fatih duduk di sofa
sederhana di ruang tamu rumah mungil mereka. Yang ia beli dari landlord nya,
wanita kebangsaan Columbia, Griselda. Ia mengontraknya 2 tahun, sebelum
akhirnya landlord nya setuju menjualnya dengan harga miring. Alhamdulillah,
benar kata sebagian ulama, menikah mempermudah rejeki, pertolongan Allah sering
datang dari arah yang tidak terduga.
Terlihat nama Muhammad
Isa Wijoyo online. Kemudian Fatih meng IM nya :” Assalamu’alaikum, sedang
sibukkah Isa?”. Setelah skitar 5 menit terlihat respon “ Alhamdulillah sedikit
longgar, aku call ya? Kangen wajah tua sahabatku ini hehehe”.
“Assalamu’alaikum, apa kabar
pak dokter yang satu ini? Sehat? “ sapa Fatih setelah meng klik tombol answer
di window skype nya. “Wa’alaikumussalam warrohmatullah, Alhamdulillah sehat
sekeluarga, gimana kabar orang asing satu ini? Hehehe, sehat semua di situ? si
kecil sudah pinter apa?” jawab Isa. “Alhamdulillah, kami juga sehat sekeluarga.
Si Hima baru latihan jalan, baru satu dua langkah”. Fatih dan Isa adalah dua
karib yang bertemu di forum rohis kampus mereka, saat mereka sama-sama
mengambil S1 di kota apel Jawa timur. Fatih mengambil jurusan hukum, sedangkan
Isa mengambil jurusan kedokteran. Setelah koas Isa langsung diterima kerja di
RS Saiful Anwar Malang, sedangkan Fatih mendapatkan beasiswa S2 ke USA. “Jadi
bagaimana si Hima memanggil kamu dan ibunya?” Tanya Isa. “aku bahasakan
memanggilku Abi dan ibunya pingin dipanggil anne, ibu dalam bahasa Turki”.
“loh, masak ibunya dipanggil aneh? Hehehe, becanda aku”, goda Isa.
……………………………………………………………………………………………………..........
Fatih ikut bahagia,
karena karibnya bahagia, walau dia menikah dengan wanita yang dilamarnya.
Setelah selesei mengobrol dengan Isa, dia harus pergi mengajar di jurusan
criminal justice di South University, kampus tempat dulu dia mengambil S2, yang
setuju mengangkatnya menjadi dosen, berkat prestasinya. Dalam perjalanan, dia
teringat kisahnya bersama Isa 6 tahun yang lalu. Waktu itu, mereka sama-sama
aktifis rohis. Kemudian ada satu lagi sahabat mereka, Idris, yang mempunyai
adik perempuan, Fatima.
Pada suatu siang saat pulang kuliah menuju kost nya,
Fatih berpapasan dengan Idris yang sedang mengantar Fatima ke rental computer buat
mengeprint makalah. Mereka bertegur sapa, kemudian Idris memperkenalkan Fatima
kepada Fatih. Dua minggu kemudian, Fatih bertanya kepada Idris apakah dia bisa
melamar Fatima. Karena Fatih tahu seluk
beluk keluarga Idris, dan percaya bahwa Fatima adalah kandidat yang sangat pas
untuk menjadi ibu dari anak-anaknya nanti. Idris menjawab, silahkan datang ke
rumah untuk melamar, bertanya langsung ke orangtuaku dan yang bersangkutan. Seminggu
kemudian, Fatih mengajak Isa untuk menemaninya ke rumah Idris. Kebetulan mereka
berdua sama-sama tinggal menunggu wisuda, jadi banyak waktu luang. Sedangkan Fatima
sedang libur tengah semester.
Setelah sampai dirumah
Idris, Fatih dan Isa mengetuk pintu dan mengucap salam. Disambut oleh kedua orang tua Idris, jantung Fatih
deg-degan, Mereka sudah tahu maksud kedatangan Fatih dan Isa, karena Fatih
sudah memberitahu Idris sebelumnya. Isa mewakili Fatih bicara “Bapak dan Ibu
sekalian, maksud kedatangan kami kesini, Fatih Arroyan sahabat saya ini, juga
sahabat Idris, hendak mengkhitbah Fatima. Mohon maaf karena kedua orang tua
Fatih sedang ke luar pulau sampai 3 bulan kedepan, sehingga meminta saya
mendampinginya sowan kemari, tentunya Idris sudah memberitahukan sebelumnya kepada
bapak dan ibu sekeluarga tentang maksud kedatangan kami hari ini, dan
InsyaAllah bapak dan ibu sudah banyak mendengar cerita tentang sahabat saya ini
dari Idris, karena kami bersahabat cukup lama“.
Mengawalinya dengan senyum,
ayah Fatima menjawab “ iya, Alhamdulillah kami berdua sudah banyak mendengar
cerita mengenei adik Fatih ini, namun
kami berdua akan menyerahkan keputusan kepada Fatima tentunya. dik Fatih ini
tinggal menunggu wisuda ya kalo ngga salah?, sekarang sambil jadi asisten
dosen? Dari yang kami dengar dari Idris prestasi dik Fatih ini MasyaAllah, betapa
sungguh gembira orang tuanya”. Sambil sedikit tersipu karena di puji Fatih
menjawab “Alhamdulillah bulan depan ini InsyaAllah wisudanya, sambil menunggu,
selain sibuk jadi asisten dosen, Alhamdulillah saya juga menerima les bahasa inggris
prifat untuk anak SMP atau SMA”.
Setelah agak lama
mengobrol, “mohon ijin sebentar ke belakang, saya akan menanyakan keputusan
Fatima” pamit ibunya Fatima. Kira-kira 15 menit kemudian si ibu kembali keruang
tamu “mohon maaf sebelumnya, bagaimanapun kami harus menghormati keputusan
Fatima, bila dik Isa mempunyai maksud yang sama maka Fatima bersedia”. Kaget dan
setengah tidak percaya, Fatih seperti tertusuk dadanya, sedangkan Isa seperti
mematung, bingung sedih campur bahagia. Karena sebenarnya Isa juga punya maksud
yang sama, namun Fatih mengungkapkannya lebih dulu, tentu Isa tidak akan
mungkin mengecewakan karibnya. Di tepisnya keinginan melamar Fatima demi
persahabatan mereka. Namun, sekarang
malah Isa yang diterima oleh Fatima. Pada akhirnya karena bekal iman yang cukup
kuat, mereka berdua bisa berdewasa dalam situasi yang sangat kaku membingungkan
ini.
Sedikit terbata Fatih
berucap “ Alhamdulillah, Allahu Akbar, Barakallahu fik sodaraku Isa, Fatima
adalah muslimah yang sholehah, sungguh dia akan menjadi pendamping yang hebat
buatmu. Silahkan minta beberapa hari kepada bapak dan ibu Ibrahim untuk
berdiskusi dengan keluargamu, InsyaAllah saya bersedia menjadi saksi pernikahan
kalian”. Sungguh tambah terkejut Isa, betapa Fatih mencintainya karena Allah. “Ana
uhibukka fillah ya akhi” ucap Isa sambil sedikit bergetar, “baiklah,
Alhamdulillah, saya akan kembali bersama orangtua saya InsyaAllah sekitar 2
minggu lagi untuk membicarakan hari pernikahan, bapak dan ibu Ibrahim kami
pamit dulu”.
……………………………………………………………………………………………...........
Tepat seminggu setelah
hari itu, Fatih menerima surat balasan bahwa pengajuan beasiswanya diterima,
dan dia bisa berangkat ke USA sebelum semerter fall dimulai. Alhamdulillah, dia
masih ada waktu untuk menghadiri pernikahan Isa. Dalam hatinya bergumam “Sungguh
Engkau Maha besar Ya Allah, tentu rencanaMu lebih sempurna. Tidak kau ijinkan
aku mendampingi Fatima namun Kau beri aku karunia ini.
Mungkin memang Fatima
lebih baik bersama Isa sehingga Fatima bisa lebih dekat dengan keluarganya. Dan
juga mungkin berpeluang mendapat tempat kerja yang sama karena mereka satu
jurusan, hanya saja Fatima 2 angkatan dibawah Isa. Allahu Akbar, tidak akan
sedih orang yang percaya akan kuasaMu”. Fatih memang menyadari mengapa Fatima
lebih memilih Isa, karena mungkin Fatima lebih mengenal Isa yang satu jurusan
dengannya, sering bertemu dan juga kebetulan mereka sama-sama menjadi pengurus
badan ekskutif mahasiswa tahun lalu.
Fatih tersenyum-senyum
sendiri, baru dia sadar bahwa kisah dia ini hampir mirip dengan kisah salah seorang
sahabat Rosulullah SAW, Salman Alfarisi.
Salman Al Farisi
sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita
mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan
sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam
ikatan suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah
bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah
memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik
bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah
berbicara untuknya dalam khithbah,
pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
”Subhanallaah. .
wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum
bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah
kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah
dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu
Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah
memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan
jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya
datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang
paling murni.
”Adalah kehormatan
bagi kami”, ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang
mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat
Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada
puteri kami.”
Abu Darda dan
Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah
berbincang-bincang dengan puterinya.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut
itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda
berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa
puteri kami menolak pinangan
Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan
yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang di luar perkiraan kedua sahabat
tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar
daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang
membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun
Salman memang belum punya hak
apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita
simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini:
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu
Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Betapa indahnya
kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia
begitu faham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah
serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga
sangat faham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah
dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika
ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia
merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.
“Tidaklah seseorang dari kalian
sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk
dirinya.” [HR Bukhari]
*Terimakasih
atas waktunya untuk membaca
*cerita
ditulis untuk belajar menulis