Saturday, November 3, 2012

Mimpi di sepertiga malam terakhir




“Astagfirrulloh Hal’adzim” setengah melompat, Fatih kaget terbangun dari tidurnya. Sambil terus beristigfar, ia mengusap mukanya dengan kedua buah tangannya. Beranjak pelan-pelan ia bangun menuju ke kamar mandi mengambil air wudhu. Kemudian kembali ke kamar, diliriknya jam beker digital di samping tempat tidurnya, 03:17. Lalu ia alihkan pandangannya ke wajah istrinya yang terlihat lelap sekali tidurnya. Hatinya bergumam “Ya Allah Robbul’alamin, kenapa aku memimpikan dia? Sepintaspun aku sudah tidak mengingatnya. Ataukah ini pekerjaan setan yang masuk ke alam tidurku? Hamba berlindung kepadaMu dari perbuatan jahat setan Ya Allah”

Dipegang pipi kanan istrinya dengan tangannya yang masih agak dingin oleh air wudhu. “hun, come on wake up, let’s do qiyamul lail”. Perlahan Tuba membuka kedua matanya sambil tersenyum “thanks love, give me a second to take wudhu”. “Go ahead dear, I’ll prepare the praying mat”. Tuba Yilmas adalah istri yang dinikahi Fatih 2 tahun yang lalu, anak dari imam masjid Ar-Rahman West Palm Beach Florida kota tempat dia mengajar sekarang. 

Selesei bertahajud berdua sambil menunggu adzan subuh, Tuba mengambil Al-Qur’an, membacanya sambil duduk dikursi didekat lampu kamar mereka. Sedang Fatih sendiri terus berdzikir. Namun pikirannya menerawang, kembali teringat mimpinya. Ya Allah, semoga dia dalam keadaan baik, sehat dalam lindunganMu. Sudah 6 tahun berlalu, aku ikhlas Engkau tahu. Sudah Kau karuniakan aku istri yang cantik nan sholehah penyejuk mataku, penerang rumah tanggaku, aku sangat bahagia dan sangat bersyukur atas karunia dan amanahMu ini.

 Aku sudah lupa tentang Fatima, namun mengapa aku mimpi dia Ya Allah. Dia berdiri dihadapanku, menggandeng kedua tanganku, menatapku lekat-lekat, bertanya apakah aku bahagia, seolah dia ingin memastikan bahwa aku bahagia. Melihat wajahnya dengan jelas saja, aku baru 2x, saat tidak sengaja bertegur sapa dengan kakaknya yang saat itu berjalan dengan dia, dan saat aku mencoba melamarnya. Dan aku ikhlas Fatima mendampingi Isa,  sahabat karibku yang Engkau tahu dia aku anggap layaknya saudara sendiri. Wahai Allah Maha penggenggam hati, jagalah hati ini dari syaitan yang mencoba mengusik ketenangan rumah tanggaku dengan Tuba. Yang Engkapun sudah mengkarunikan kami seorang putri yang lucu. Bertambah lagi amanah dariMu, kuatkan diriku Ya Robbi, Aamiin”.

Selesai berjamaah sholat shubuh yang dilanjutkan dzikir pagi, Tuba bangkit, duduk menghadap Fatih, meminta salaman sambil mencium tangan Fatih. Kemudian Fatih membalas mengecup kening istrinya, “Sungguh, apalagi yang kuminta selain istri yang cantik, sholehah dan patuh”, bisik hati Fatih. 

Tuba pamit ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
 “Love, what would you like to have for your breakfast? Some coffee and scramble with no salt or orange juice and 2 toasts, one with peanut butter and one with pineapple jam?” 
Sambil tersenyum lembut Fatih menjawab “cup of coffee and 2 toasts one with honey and the other one with peanut butter, please!. Thanks a lot dear”
 “no problemo, will do, and I won’t make them like a sandwich, I’ll remember this time” sahut Tuba sambil tersenyum sedikit malu. Karena sebelumnya Tuba tidak faham dengan permintaan Fatih yang lebih suka rotinya terpisah, Fatih tidak suka rotinya ditumpuk, lebih suka makan satu persatu, menikmati perbedaan rasa roti yang pakai selei kacang, dan kemudian berganti rasa dengan yang pakai madu. Atau biasanya ia suka pakai selei nanas. 
“Thanks again dear, I’ll be in the living room, I wanna log in to skype, see if my buddy Isa is online right now”.
 “OK love” respon Tuba.

Fatih duduk di sofa sederhana di ruang tamu rumah mungil mereka. Yang ia beli dari landlord nya, wanita kebangsaan Columbia, Griselda. Ia mengontraknya 2 tahun, sebelum akhirnya landlord nya setuju menjualnya dengan harga miring. Alhamdulillah, benar kata sebagian ulama, menikah mempermudah rejeki, pertolongan Allah sering datang dari arah yang tidak terduga.

Terlihat nama Muhammad Isa Wijoyo online. Kemudian Fatih meng IM nya :” Assalamu’alaikum, sedang sibukkah Isa?”. Setelah skitar 5 menit terlihat respon “ Alhamdulillah sedikit longgar, aku call ya? Kangen wajah tua sahabatku ini hehehe”.

“Assalamu’alaikum, apa kabar pak dokter yang satu ini? Sehat? “ sapa Fatih setelah meng klik tombol answer di window skype nya. “Wa’alaikumussalam warrohmatullah, Alhamdulillah sehat sekeluarga, gimana kabar orang asing satu ini? Hehehe, sehat semua di situ? si kecil sudah pinter apa?” jawab Isa. “Alhamdulillah, kami juga sehat sekeluarga. Si Hima baru latihan jalan, baru satu dua langkah”. Fatih dan Isa adalah dua karib yang bertemu di forum rohis kampus mereka, saat mereka sama-sama mengambil S1 di kota apel Jawa timur. Fatih mengambil jurusan hukum, sedangkan Isa mengambil jurusan kedokteran. Setelah koas Isa langsung diterima kerja di RS Saiful Anwar Malang, sedangkan Fatih mendapatkan beasiswa S2 ke USA. “Jadi bagaimana si Hima memanggil kamu dan ibunya?” Tanya Isa. “aku bahasakan memanggilku Abi dan ibunya pingin dipanggil anne, ibu dalam bahasa Turki”. “loh, masak ibunya dipanggil aneh? Hehehe, becanda aku”, goda Isa.
……………………………………………………………………………………………………..........
Fatih ikut bahagia, karena karibnya bahagia, walau dia menikah dengan wanita yang dilamarnya. Setelah selesei mengobrol dengan Isa, dia harus pergi mengajar di jurusan criminal justice di South University, kampus tempat dulu dia mengambil S2, yang setuju mengangkatnya menjadi dosen, berkat prestasinya. Dalam perjalanan, dia teringat kisahnya bersama Isa 6 tahun yang lalu. Waktu itu, mereka sama-sama aktifis rohis. Kemudian ada satu lagi sahabat mereka, Idris, yang mempunyai adik perempuan, Fatima.

 Pada suatu siang saat pulang kuliah menuju kost nya, Fatih berpapasan dengan Idris yang sedang mengantar Fatima ke rental computer buat mengeprint makalah. Mereka bertegur sapa, kemudian Idris memperkenalkan Fatima kepada Fatih. Dua minggu kemudian, Fatih bertanya kepada Idris apakah dia bisa melamar Fatima.  Karena Fatih tahu seluk beluk keluarga Idris, dan percaya bahwa Fatima adalah kandidat yang sangat pas untuk menjadi ibu dari anak-anaknya nanti. Idris menjawab, silahkan datang ke rumah untuk melamar, bertanya langsung ke orangtuaku dan yang bersangkutan. Seminggu kemudian, Fatih mengajak Isa untuk menemaninya ke rumah Idris. Kebetulan mereka berdua sama-sama tinggal menunggu wisuda, jadi banyak waktu luang. Sedangkan Fatima sedang libur tengah semester.

Setelah sampai dirumah Idris, Fatih dan Isa mengetuk pintu dan mengucap salam. Disambut  oleh kedua orang tua Idris, jantung Fatih deg-degan, Mereka sudah tahu maksud kedatangan Fatih dan Isa, karena Fatih sudah memberitahu Idris sebelumnya. Isa mewakili Fatih bicara “Bapak dan Ibu sekalian, maksud kedatangan kami kesini, Fatih Arroyan sahabat saya ini, juga sahabat Idris, hendak mengkhitbah Fatima. Mohon maaf karena kedua orang tua Fatih sedang ke luar pulau sampai 3 bulan kedepan, sehingga meminta saya mendampinginya sowan kemari, tentunya Idris sudah memberitahukan sebelumnya kepada bapak dan ibu sekeluarga tentang maksud kedatangan kami hari ini, dan InsyaAllah bapak dan ibu sudah banyak mendengar cerita tentang sahabat saya ini dari Idris, karena kami bersahabat cukup lama“.

 Mengawalinya dengan senyum, ayah Fatima menjawab “ iya, Alhamdulillah kami berdua sudah banyak mendengar cerita mengenei adik Fatih ini,  namun kami berdua akan menyerahkan keputusan kepada Fatima tentunya. dik Fatih ini tinggal menunggu wisuda ya kalo ngga salah?, sekarang sambil jadi asisten dosen? Dari yang kami dengar dari Idris prestasi dik Fatih ini MasyaAllah, betapa sungguh gembira orang tuanya”. Sambil sedikit tersipu karena di puji Fatih menjawab “Alhamdulillah bulan depan ini InsyaAllah wisudanya, sambil menunggu, selain sibuk jadi asisten dosen, Alhamdulillah saya juga menerima les bahasa inggris prifat untuk anak SMP atau SMA”.

Setelah agak lama mengobrol, “mohon ijin sebentar ke belakang, saya akan menanyakan keputusan Fatima” pamit ibunya Fatima. Kira-kira 15 menit kemudian si ibu kembali keruang tamu “mohon maaf sebelumnya, bagaimanapun kami harus menghormati keputusan Fatima, bila dik Isa mempunyai maksud yang sama maka Fatima bersedia”. Kaget dan setengah tidak percaya, Fatih seperti tertusuk dadanya, sedangkan Isa seperti mematung, bingung sedih campur bahagia. Karena sebenarnya Isa juga punya maksud yang sama, namun Fatih mengungkapkannya lebih dulu, tentu Isa tidak akan mungkin mengecewakan karibnya. Di tepisnya keinginan melamar Fatima demi persahabatan mereka.  Namun, sekarang malah Isa yang diterima oleh Fatima. Pada akhirnya karena bekal iman yang cukup kuat, mereka berdua bisa berdewasa dalam situasi yang sangat kaku membingungkan ini.

Sedikit terbata Fatih berucap “ Alhamdulillah, Allahu Akbar, Barakallahu fik sodaraku Isa, Fatima adalah muslimah yang sholehah, sungguh dia akan menjadi pendamping yang hebat buatmu. Silahkan minta beberapa hari kepada bapak dan ibu Ibrahim untuk berdiskusi dengan keluargamu, InsyaAllah saya bersedia menjadi saksi pernikahan kalian”. Sungguh tambah terkejut Isa, betapa Fatih mencintainya karena Allah. “Ana uhibukka fillah ya akhi” ucap Isa sambil sedikit bergetar, “baiklah, Alhamdulillah, saya akan kembali bersama orangtua saya InsyaAllah sekitar 2 minggu lagi untuk membicarakan hari pernikahan, bapak dan ibu Ibrahim kami pamit dulu”.
……………………………………………………………………………………………...........
Tepat seminggu setelah hari itu, Fatih menerima surat balasan bahwa pengajuan beasiswanya diterima, dan dia bisa berangkat ke USA sebelum semerter fall dimulai. Alhamdulillah, dia masih ada waktu untuk menghadiri pernikahan Isa. Dalam hatinya bergumam “Sungguh Engkau Maha besar Ya Allah, tentu rencanaMu lebih sempurna. Tidak kau ijinkan aku mendampingi Fatima namun Kau beri aku karunia ini. 

Mungkin memang Fatima lebih baik bersama Isa sehingga Fatima bisa lebih dekat dengan keluarganya. Dan juga mungkin berpeluang mendapat tempat kerja yang sama karena mereka satu jurusan, hanya saja Fatima 2 angkatan dibawah Isa. Allahu Akbar, tidak akan sedih orang yang percaya akan kuasaMu”. Fatih memang menyadari mengapa Fatima lebih memilih Isa, karena mungkin Fatima lebih mengenal Isa yang satu jurusan dengannya, sering bertemu dan juga kebetulan mereka sama-sama menjadi pengurus badan ekskutif mahasiswa tahun lalu.

Fatih tersenyum-senyum sendiri, baru dia sadar bahwa kisah dia ini hampir mirip dengan kisah salah seorang sahabat Rosulullah SAW, Salman Alfarisi.

Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah, pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Keterusterangan yang di luar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah  dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini:
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!

Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia begitu faham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]

*Terimakasih atas waktunya untuk membaca
*cerita ditulis untuk belajar menulis

No comments:

Post a Comment